Di era modern ini, manusia semakin terbiasa dengan segala sesuatu yang bersifat instan—dari makanan, informasi, hingga pencapaian pribadi. Fenomena ini tidak terlepas dari perkembangan teknologi dan budaya konsumsi yang serba cepat. Ketika kemajuan teknologi mampu mempercepat banyak proses dalam kehidupan, keinginan manusia untuk mencapai sesuatu dengan instan tanpa melalui proses yang panjang pun ikut meningkat. Dari perspektif filsafat, perilaku ini memunculkan pertanyaan mendasar mengenai hakikat manusia, tujuan hidup, serta etika pencapaian. Artikel ini akan membahas fenomena ini dari pandangan filsafat untuk memahami dampak dan implikasinya terhadap keberadaan manusia.
Manusia sebagai Homo Faber dan Homo Consumericus
Dalam kajian filsafat, manusia sering dipandang sebagai Homo Faber—makhluk yang menciptakan alat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, dalam konteks masyarakat modern, manusia juga berkembang menjadi Homo Consumericus, yaitu makhluk yang tidak hanya menciptakan, tetapi juga mengkonsumsi secara cepat dan instan. Keinginan untuk "bisa" tanpa proses panjang dapat dilihat sebagai konsekuensi dari berubahnya makna Homo Faber menjadi Homo Consumericus. Proses penciptaan yang penuh makna kini diubah menjadi keinginan untuk langsung mendapatkan hasil tanpa usaha yang mendalam.
Perspektif Etika Aristoteles: Eudaimonia vs. Kenikmatan Sesaat
Aristoteles dalam Nicomachean Ethics menyebutkan bahwa tujuan akhir hidup manusia adalah mencapai eudaimonia—kebahagiaan yang dicapai melalui aktualisasi diri dan kebajikan (virtue). Aktualisasi ini membutuhkan proses panjang dan kesabaran. Namun, ketika manusia lebih mengejar hasil instan, yang sebenarnya terjadi adalah upaya memenuhi kenikmatan sesaat, bukan kebahagiaan yang sejati. Aristoteles akan memandang keinginan untuk mencapai sesuatu secara instan sebagai upaya untuk memuaskan hasrat rendah (appetites) yang hanya akan membawa pada ketidakpuasan dan hilangnya makna hidup.
Pandangan Eksistensialisme: Menolak Proses adalah Menolak Keberadaan
Eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre dan Albert Camus menekankan bahwa keberadaan manusia ditentukan oleh pilihan, tindakan, dan proses refleksi terhadap keberadaan dirinya. Dalam konteks keinginan instan, manusia yang menolak proses sejatinya menolak keberadaan dirinya sendiri. Bagi Sartre, manusia menjadi être-pour-soi (makhluk untuk dirinya) ketika ia menjalani proses otentik dalam menjalani hidupnya. Jika manusia ingin mencapai sesuatu dengan instan, ia sedang berusaha melarikan diri dari tanggung jawab keberadaannya. Camus, dalam The Myth of Sisyphus, menyoroti absurditas manusia yang selalu menghindari penderitaan dan proses sebagai hilangnya kesempatan untuk memberikan makna pada hidup.
Kritik dari Perspektif Teknologi: Technological Determinism dan Kehilangan Proses
Dalam filsafat teknologi, konsep technological determinism menjelaskan bahwa perkembangan teknologi dapat mengubah cara manusia memandang realitas dan dirinya. Teknologi yang memudahkan pencapaian instan, seperti tutorial cepat, aplikasi pembelajaran singkat, hingga algoritma yang menawarkan solusi segera, mendorong manusia untuk melihat segala sesuatu dalam konteks kecepatan dan efisiensi. Akibatnya, manusia kehilangan apresiasi terhadap proses belajar, berusaha, dan menunggu hasil. Pandangan ini sejalan dengan kritik Martin Heidegger tentang teknologi, di mana ia menyebutkan bahwa manusia telah terjebak dalam pola pikir enframing, melihat segala sesuatu hanya sebagai alat untuk pencapaian, bukan sebagai sesuatu yang bermakna.
Dampak Sosial dan Budaya: Masyarakat yang Terjebak dalam Ilusi Keberhasilan
Keinginan untuk bisa secara instan tanpa proses tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga membentuk budaya dan masyarakat. Ketika masyarakat mengagungkan keberhasilan yang tampak, seperti popularitas instan di media sosial, gelar tanpa pengetahuan mendalam, atau kekayaan tanpa usaha nyata, maka nilai-nilai autentik seperti kerja keras, ketekunan, dan kebajikan tergantikan oleh ilusi keberhasilan. Manusia menjadi terasing dari dirinya sendiri dan dari orang lain, karena yang dilihat adalah hasil, bukan perjalanan yang dilalui untuk mencapai hasil tersebut.
Kesimpulan
Pandangan filsafat menunjukkan bahwa keinginan manusia untuk mencapai sesuatu secara instan tidaklah selaras dengan makna hidup yang sejati. Baik dari perspektif etika Aristoteles, eksistensialisme Sartre, maupun kritik teknologi Heidegger, manusia yang menolak proses sejatinya menolak dirinya sendiri. Hasil tanpa proses hanya membawa pada kenikmatan sesaat yang dangkal, bukan kebahagiaan sejati yang dicapai melalui aktualisasi diri dan makna hidup. Dalam menghadapi era yang serba cepat ini, filsafat mengingatkan kita untuk kembali menghargai proses sebagai bagian integral dari keberadaan kita sebagai manusia yang utuh.
0 Komentar