Sentil Otak Anda! Part 2

Pada tahun 1978, sebuah buku berjuluk What Makes Giftedness; Reexamining a Definition meluncur dari tangan Joseph Renzulli. Sejak saat itu, banyak kalangan yang mengagungkan pemikiran Renzulli di dalam buku tersebut, bahwa anak berbakat (termasuk juga anak jenius) adalah anak yang mempunyai IQ atas rata-rata, motivasi dan task commitment yang tinggi, serta kreativitas mengangumkan.


Sementara itu, sinyal personalitas dan sinyal tumbuh kembang anak tak pernah dipertimbangkan untuk membantu dilakukannya deteksi dini giftedness, sebelum si kecil mampu mengerjakan tes IQ.

Sayangnya, mayoritas masyarakat Indonesia hingga kini masih saja terkurung oleh teori kuno ala Renzulli tadi. Akibatnya, ada begitu banyak vonis kejam yang harus diterima anak-anak dari psikolog, pedagogi, ataupun dokter anak. Bahwa mereka menderita autisme. Brain injury. Hiperaktif. Kesulitan belajar dan berbagai kelainan lainnya yang dipicu oleh IQ kurang tinggi, justru di kala seorang anak belum cukup usia untuk menjalani tes IQ.

Ingatkah Anda tentang Thomas Alva Edison yang nyaris dikeluarkan dari sekolah lantaranyang nyaris dikeluarkan sekolah, lantaran ia dicap "Bodoh" dan tidak mampu mengikuti pelajaran klasikal di kelasnya? Bagaimana andai seketika itu juga sang Ibu mendengarkan vonis tersebut, lalu memilih menyembunyikan Edison kecil karena merasa malu? Akankah kita bisa menikmati terangnya bola lampu-sumbangsih terbesar bocah jenius itu dibagi dunia? Tidak, bukan ... ? Jika demikian, bodohkah si kecil Edison?

"Bodoh adalah melakukan tindakan Bodoh. Begitu kata Ibuku."

Itulah kata-kata yang dilontarkan Forrest Gump-bocah lelaki yang kurang dalam fisiknya, sulit berkomunikasi, dan memiliki IQ 75-kepada siapa pun yang mengejeknya. Meski sudah sukses dan kaya-raya, Forrest sering mengulang ucapan ibunya kepada setiap orang yang diajaknya berkisah mengenai lika-liku hidupnya.

Cuplikan ucapan Forrest Gump dalam film Forrest Gump itu, semoga bisa mendorong kita untuk merekonstruksi konsep "bodoh dan cerdas" yang terlanjur tercetak di benak kita.

Layakah seorang anak disebut bodoh, sedangkan yang dilakukannya adalah memenuhi rasa ingin tahunya, yang mungkin dianggap konyol di mata orang dewasa? Pantaskah manusia lugu itu disebut idiot, ketika yang dilakukannya adalah menolong dirinya, meski di luar kebiasaan umum? Atau, tepatkah si kecil disebut ber-IQ "Jongkok", hanya karena ia lebih tertarik pada satu bidang tertentu, dan pikirannya selalu terfokus pada bidang itu saja? Bukankah selama itu mereka lakukan dalam rangka belajar?

Saya pribadi lebih senang mendefinisikan jenius sebagai gairah belajar yang tidak pernah padam. Dan, anak jenius adalah anak yang menganggap belajar sebagai permainan paling mengasyikkan di dunia, sehingga gairah belajarnya akan terus menyala.

Ketika kondisi tersebut telah terpatri di dalam diri si kecil, maka apa yang tidak mungkin baginya? bisa saja ia menciptakan varian baru dari wortel yang tetap mengandung betakaroten, namun berwarna lain yang lebih memikat anak-anak. Who knows ... ?


Posting Komentar

0 Komentar