Empat Kebiasaan yang Membuat Kamu Sulit Bahagia



1. Mengharapkan Kesempurnaan
Apakah hidup ini harus sempurna dulu agar Kamu bahagia? Memiliki banyak uang dulu? Terkenal dulu? Dapat pekerjaan bagus dulu? Keuntungan bisnis berlimpah dulu?

Sampai kapan Kamu akan menunggu? Sementara teman-temanmu sedang asyik bercengkrama, tertawa bersama istri/suami dan anak-anak mereka dalam rumah kontrakan yang paling sempit. Pak Guru di seberang rumah Kamu selalu merasa bahagia karena bisa rutin berbagi rezeki kepada panti asuhan dari gaji kecilnya yang hanya sepersepuluh dari penghasilan Kami.

Dunia ini telah penuh sesak oleh mereka yang mengeluh belum bisa bahagia karena belum menikah, belum punya anak, belum punya rumah sendiri, atau belum punya penghasilan tetap. Percayalah, bila sikap ini tidak secepatnya diubah, maka saat Kamu sudah menikah, punya anak, sudah punya rumah sendiri, atau punya penghasilan tetap pun, Kamu tetap tidak bahagia. Karena Kamu akan terus mengharapkan yang lebih dan lebih lagi.

Inilah kalimat-kalimat yang biasa diucapkan oleh mereka yang terus menanti sampai kesempurnaan itu datang:
  • Nanti kalau saya kaya, saya akan menyumbang lebih banyak. 
  • Nanti kalau saya udah taubat, saya akan rajin ibadah. 
  • Nanti kalau saya sudah punya pekerjaan yang bagus, pasti saya akan lebih percaya diri. 
  • Nanti kalau dia mau berubah, saya baru akan memaafkannya. 
  • Nanti kalau saya punya mobil, saya lebih rajin ke mesjid. 
  • Nanti kalau sudah punya rumah sendiri, baru saya hidup lebih tenang.


2. Membandingkan-bandingkan Hidupnya dengan Orang Lain 
Begitu banyak orang yang menghabiskan waktu hanya untuk membanding-bandingkan dirinya dan apa yang dimilikinya dengan orang lain. Biasanya yang diungkapkan, "Pantaslah dia bahagia, rumahnya kan lebih bagus, istrinya kan lebih cantik, gajinya kan lebih besar, wajahnya kan lebih tampan, mereka kan dari keluarga terpandang, kerjanya kan di perusahaan bonafid, sedangkan saya?"

Percayalah, semaki Kamu sibuk membanding-bandingkan maka Kamu akan semakin jauh dari kebahagiaan. Toh dengan membandingkan, juga tidak akan mengubah keadaan Kamu menjadi seperti orang itu.

Kisah Petani dan Pengendara Mobil Mewah
Seorang petani dan seorang istrinya bergandengan tangan menyusuri jalan sepulang dari sawah sambil diguyut air hujan. Tiba-tiba lewatlah sebuah sepeda motor d depan mereka. Sang petani berkata kepada istrinya, "Lihatlah Bu, betapa bahagianya suami istri yang naik motor itu. Meski mereka kehujanan, mereka bisa cepat sampai di rumah. Tidak seperti kita yang harus lelah dan letih berjalan untuk sampai kerumah".

Sementara itu, pengendara motor dan juga istrinya yang sedang berboncengan motor di bawah derasnya hujan, melihat sebuah mobil pickup lewat di depan mereka. Pengendara motor itu berkata pada istrinya, "Sayang, lihatlah betapa bahagia orang yang berkendara dengan mobil itu. Mereka tidak perlu kehujanan seperti kita".

Didalam mobil pick-up yang dikendarai sepasang suami istri itu, juga terjadi perbincangan ketika sebuah sedan mewah mendahului mereka. "Betapa bahagia orang itu yang sedang menaiki mobil mewah itu, Bu. Pasti mobil itu nyaman di kendarai, tidak seperti mobil kita yang sering mogok."

Pengendara mobil mewah itu seorang pria kaya. Wajahnya tertegun ketika melihat sepasang suami-istri yang berjalan bergandengan tangan di bawah guyuran hujan. Dia berkata didalam hati, "Oh, berapa bahagianya sepasang suami-istri itu. Mereka dengan mesranya berjalan bergandengan tangan sambil menyusuri indahnya jalan pedesaan ini, sementara saya dan istriku tidak pernah punya waktu untuk berduaan karena kesibukan masing-masing".

Kebahagian tidak akan pernah kita miliki ketika kita hanya melihat kebahagian orang lain dan selalu membandingkannya dengan hidup orang lain. Bersyukurlah senantiasa atas hidup kita, supaya kita tahu betapa hidup kita pun penuh dengan kebahagiaan.


3. Terlalu Bergantung pada Omongan/Asumsi Orang Lain
Orang seperti ini ibarat barang elektronik yang remote-nya dikendalikan oleh orang lain. Bahagia atau tidaknya dirinya sangat bergantung pada penilaian orang lain. Pujian orang lain bisa membuatnya melayang, sebaliknya penilaian negatif bisa membuatnya minder, kecewa, sengsara, atau nekat.

Perkataan orang lain yang menyebutkan, "Kamu kan cuma pegawai, tukang, pengangguran, Ibu rumah tangga, dsb.," bisa dengan mudah mematikan motivasinya untuk berbuat sesuatu yang lebih baik.

Beruntung kalau orang seperti ini selalu berada di lingkungan orang-orang yang berpikiran positif. Tapi, tetaplah waspada karena keadaan sekarang ini telah penuh sesak dengan orang-orang yang berpikiran negatif.

Bagi orang seperti ini, apapun omongan orang lain, maka itulah yang akan diikutinya. Hidup orang seperti ini habis untuk menanggapi komentar-komentar orang lain yang belum tentu cocok dengan keinginan dan nuraninya.

"Kalau pendapat mereka tidak saya ikutin, nanti saya dibilang ... "
"Ah, barangkali saja pendapat mereka mungkin benar, saya sih mengikuti saja."

Inilah alasan yang selalu dia katakan. Sayangnya, dia sendiri tidak merasa bahagia. Karena kebahagiaan baginya adalah sekedar mengikuti apa kata orang lain. Parahnya lagi, orang seperti ini sangat sibuk menanggapi berbagai gosip tentang diri dan keluarganya. Sementara si penggosip tidak pernah kehabisan bahan, maka dia pun terus menderita karena merasa tidak puas jika tidak merespon.


4. Berpikir Negatif terhadap Orang Lain dan Keadaan
Kebalikan dari yang di atas, tipe orang yang keempat ini adalah ia yang cenderung menilai segala sesuatu secara negatif. Lebih mengherankan lagi, ia sangat menikmati dan seolah merasa puas bila telah mengungkapkan penilaiannya.

Orang seperti ini tentu saja sulit untuk merasakan kebahagiaan. Pancaran aura negatifnya begitu kuat di lingkungan mana pun dia berada. Dia mudah dikenali dari ucapan-ucapannya.

"Hmm ...  ih dia sih kan dapat promosi karena suka cari muka sama ..."
"Kalau bukan karena saya, dia itu tidak apa-apanya"
"Kalau tidak korupsi, dari mana dia bisa dapat uang untuk ..."
"Negara ini sudah hancur, kita bikin hancur saja sekalian ..."
"Sok tahu banget sih, kayak lu yang paling hebat aja."
"Tahu diri dong lu, kamu kan cuma ..."
"Nasihatnya sih sudah bagus, tapi dia sendiri belum tentu melakukanya ..."

Kalau Kamu ingin bahagia, jauhi sifat dan orang seperti ini, jangan terlalu akrab dengannya, karena Kamu bisa terpengaruh buruk.

Kebiasaan sederhana yang akan membuat Kamu bahagia:
Kunjungilah rumah saudara/teman Kamu dan bawalah hadiah kecil untuk anak-anaknya.
Selagi hayat masih dikandung badan, bagaimanapun keadaan kamu, perbanyaklah berbuat kebaikan, dengan harta maupun diri, yang besar maupun yang kecil, terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, dengan lisan maupun tindakan, pada manusia maupun lainnya, dengan senang hati maupun terpaksa.


Karena akan tiba masa di mana Kamu akan sangat menyesal karena tidak atau kurang melakukannya. Dan bermohon agar dikembalikan ke dunia walau hanya sesaat untuk berbuat kebaikan. Namun, semua sudah terlambat.

Sumber : Anwar, Muchlis. (2017). The Happiness Mindset. Jakarta: Bestari. Hal. 26-34.
 

Posting Komentar

0 Komentar