A. Pengertian
Supervisi
Supervisi klinis
berasal dari kata supervisi dan klinis. Supervisi diartikan sebagai suatu
bimbingan dan tuntunan kearah perbaikan dan penyempurnaan proses pembelajaran.
Sedangkan klinis dalam hal ini diartikan:
1.
Sebagai hubungan tatap muka antara
supervisor dengan guru yang berfokus pada tingkah laku yang sebenarnya dari
guru yang mengajar di kelas, maksudnya adalah tingkah laku yang sewajarnya,
tidak dibuat buat.
2.
Sebagai kegiatan observasi dari dekat
dan dilakukan secara cermat.
3.
Mendiskripsikan hasil/ data observasi
secara detail.
4.
Sebagai hubungan yang kooperatif antara
supervisor dan guru untuk bersama-sama mencermati penampilan guru dalam
mengajar.
5.
Mendorong guru melihat kekuranganya
dalam mengajar dan menemukan cara unutk mengatasinya.
Secara umum
supervisi klinis diartikan sebagai bentuk bimbingan profesional yang diberikan
kepada guru berdasarkan kebutuhannnya melalui siklus yang sistematis. Siklus
sistematis ini meliputi: perencanaan, observasi yang cermat atas pelaksanaan
dan pengkajian hasil observasi dengan segera dan obyektif tentang penampilan
mengajarnya yang nyata.
Jika dikaji
berdasarkan istilah dalam “klinis”, mengandung makna: (1) Pengobatan (klinis)
dan (2) Siklus, yaitu serangkaian kegiatan yang merupakan daur ulang. Oleh
karena itu makna yang terkandung dalam istilah klinis merujuk pada unsur-unsur
khusus, sebagai berikut:
1.
Adanya hubungan tatap muka antara
pengawas dan guru didalam proses supervisi.
2.
Terfokus pada tingkah laku yang
sebenarnya didalam kelas.
3.
Adanya observasi secara cermat.
4.
Deskripsi pada observasi secara rinci.
5.
Pengawas dan guru bersama-sama menilai
penampilan guru.
6.
Fokus observasi sesuai dengan
permintaan kebutuhan guru.
Nana Sudjana
(2008:5) mendiskripsikan bahwa supervisi klinis sebagai bantuan profesional
yang diberikan kepada guru yang mengalami masalah dalam melaksanakan
pembelajaran agar guru tersebut dapat mengatasi masalah yang dialaminya
berkaitan dengan proses pembelajaran. Sedangkan menurut Cogan (1973), kegiatan
pembinaan performansi guru dalam mengelola proses belajar mengajar. Menurut
Sergiovanni (1987) ada dua tujuan supervisi klinis: pengembangan profesional
dan motivasi kerja guru dan memperbaiki proses pembelajaran yang kurang
efektif. Menurut Keith Acheson dan Meredith Gall dalam bukunya jurang antara
tingkah laku mengajar nyata dengan tingkah laku mengajar ideal. Dengan demikian
penulis dapat mendeskripsikan makna supervisi klinis adalah bantuan profesional
yang diberikan kepada guru yang mengalami masalah dalam pembelajaran agar guru
yang bersangkutan dapat mengatasi masalahnya dengan menempuh langkah yang
sistematis.
B. Ciri-ciri dan Karakteristik Supervisi
Klinis
1.
Ciri-ciri Supervisi Klinis
Perilaku supervisi memandang masalah
klien sebagai masalah belajar. Karenanya, hal itu memerlukan dua keahlian.
Pertama, identifikasi masalah.Kedua, menyeleksi teknik belajar yang tepat
(Leddick & Bernard, 1980). Guru yang disupervisi dapat berpartisipasi
sebgai ko-terapi untuk melakukan penguatan. Supervisi klinis termasuk bagian
dari supervisi pembelajaran. Perbedaannya dengan supervisi yang lain adalah
prosedur pelaksanaanya ditekankan kepada mencari sebab-sebab atau kelemahan
yang dilakukan oleh guru selama proses pembelajaran dan kemudian langsung
diusahakan perbaikanvsupervisi klinis yang baik bercirikan seperti berikut ini:
a.
Bimbingan supervisor pengajaran kepada
guru bersifat hubungan pembantuan, bukan hubungan perintah atau instruksi.
b.
Kesepakatan antara guru dan supervisor
tentang apa yang dikaji dan jenis keterampilan yang paling penting merupakan
hasil diskusi bersama.
c.
Instrument supervisi klinis
dikembangkan dan disepakati bersama antar guru dengan supervisor.
d.
Guru melakukan persiapan dengan mengidentifikasi
aspek kelemahan-kelemahannya yang dipandang perlu diperbaiki.
e.
Pelaksanaan supervisi klinis selayaknya
teknik observasi kelas
f.
Umpan balik atau balikan diberikan
dengan segera dan bersifat obyektif.
g.
Guru hendaknya dapat menganalisis
penampilannya.
h.
Supervisor lebih banyak bertanya dan
mendengarkan daripada memerintah atau mengarahkan guru.
i.
Supervisor dan guru berada atau
menciptakan kondisi dalam keadaan atau suasana akrab dan terbuka.
j.
Supervisor dapat digunakan untuk
membentuk atau peningkatan dan perbaikan keterampilan pembelajaran
2.
Kakteristik Supervisi Klinis
Merujuk pada pengertian yang telah
dipaparkan, terdapat beberapa karakteristik supervisi klinis, yaitu:
a.
Perbaikan dalam mengajar mengharuskan
guru mempelajari keterampilan intelektual dan bertingkah laku berdasarkan
keterampilan tersebut.
b.
Fungsi utama supervisor adalah mengajar
keterampilan-keterampilan kepada guru.
c.
Fokus supervisi klinis adalah:
1)
Perbaikan cara mengajar dan bukan
mengubah kepribadian guru.
2)
Dalam perencanaan pengajaran dan analisisnya
merupakan pegangan supervisor dalam memperkirakan perilaku mengajar guru.
3)
Pada sejumlah keterampilan mengajar
yang mempunyai arti penting bagi pendidikan dan berada dalam jangkauan guru.
4)
Pada analisis yang konstruktif dan
memberi penguatan (reinforcement) pada pola-pola atau tingkah laku yang
berhasil daripada “mencela” dan “menghukum” pola-pola tingkah laku yang belum
sukses.
5)
Didasarkan pada bukti pengamatan dan
bukan atas keputusan penilaian yang tidak didukung oleh bukti nyata.
d.
Siklus dalam merencanakan, mengajar dan
menganalisis merupakan suatu komunitas dan dibangun atas dasar pengalaman masa
lampau.
e.
Supervisi klinis merupakan suatu proses
memberi dan menerima informasi yang dinamis dimana supervisor dan guru
merupakan teman sejawat didalam mencari pengertian bersama mengenai proses
pendidikan.
f.
Proses supervisi klinis terutama
berpusat pada interaksi verbal mengenai analisis jalannya pelajaran.
g.
Setiap guru mempunyai kebebasan maupun
tanggung jawab untuk mengemukakan pokok-pokok persoalan, menganalisis cara
mengajarnya sendiri dan mengembangkan gaya mengajarnya.
h.
Supervisor mempunyai kebebasan dan
tanggung jawab untuk menganalisis dan mengevaluasi cara supervisi yang
dilakukannya dengan cara yang sama seperti ketika ia menganalisis dan mengevaluasi
cara mengajar guru.
i.
Secara skematik, perbedaan antara
supervisi kelas dengan supervisi klinis sebagai berikut (La Sulo, 1988 : 9):
No. Aspek Supervisi Kelas Supervisi
Klinis
1)
Prakarsa dan Tanggung Jawab Terutama
oleh supervisor Diutamakan oleh guru.
2)
Hubungan Supervisor-Guru Realisasi
guru-siswa/atasan-bawahan Realisasi kolegial yang sederajat dan interaktif.
3)
Sifat Supervisi Cenderung direktif atau
otokratif Bantuan yang demokratis.
4)
Sasaran Supervisi Samar-samar atau
sesuai keinginan supervisor Diajukan oleh guru sesuai kebutuhannya, dikaji
bersama menjadi kontrak.
5)
Ruang Lingkup Umum dan luas Terbatas
sesuai kontrak.
6)
Tujuan Supervisi Cenderung evaluatif
Bimbingan yang analitik dan deskriptif.
7)
Peran Supervisor dalam Pertemuan Banyak
memberi tahu dan mengarahkan Bertanya untuk analisis diri.
8)
Balikan Samar-samar atau atas
kesimpulan supervisor Dengan analisis dan interpretasi bersama atas data
observasi sesuai kontrak.
C. Urgensi dan Tujuan Supervisi Klinis
1.
Urgensi Supervisi Klinis
a.
Mengindarkan guru dari jebakan penurunan motivasi dan kinerja
dalam melakukan proses pembelajaran.
b.
Menghindarkan guru dan upaya menutupi kelemahannya sendiri
melalui cara-cara dialok terbuka dengan supervisornya.
c.
Menghindari ketiadaan respon dari supervisor atau praktik professional yang telah memenuhi
standar kompetensi dan kode etik atau yang masih dibawa standar.
d.
Mendorong guru untuk selalu daptif terhadap kemajuan IPTEK dalam
proses pembelajaran.
e.
Menjaga konsistensi guru agar tidak kehilangan identitas diri
sebagai penyanggang profesi yang terhormat dan bermanfaat bagi kemajuan
generasi.
f.
Menjaga konsistensi perilaku guru, agar tidak
masuk dalam jabatan kejenuhan professional (bornout), bukan
meningkatkannya.
g.
Mendorong guru untuk secara cermat dalam bekerja dan berinteraksi
dengan sejawat dan siswa agar terhindar dari pelanggaran kode etik profesi
guru.
h.
Menghindarkan guru dari praktik-praktik melakukan atau
mengulangi kekeliruan secara massif dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran.
i.
Menghindarkan guru dari erosi pengetahuan yang sudah didapat
dari pendidikan prajabatan selama studi di perguruan tinggi.
j.
Menghindarkan siswa dari praktik-praktik yang merugikan, karena
tidak memperoleh layanan yang memuaskan, baik secara akademik ataupun non
akademik.
k.
Menjauhkan guru dari menurunnya apresiasi dan kepercayaan siswa,
orangtua siswa, masyarakat atau profesi yang mereka sandang.
2.
Tujuan dari Supervisi Klinis
a.
Menjaga konsinstensi motivasi dan
kinerja guru dalam melaksanakan proses pembelajaran.
b.
Mendorong keterbukaan guru kepada
supervisior mengenai kelemahannya sendiri dalam melaksanakan pembelajaran.
c.
Menciptakan kondisi agar guru terus
menjaga dan meningkatkan mutu praktik profesional sesuai standar kompetensi dan
kode etik yang telah ditetapkan.
d.
Menciptakan kesadaran guru tentang
tanggung jawab terhadap pelaksanaan pembelajaran yang berkualitas, baik proses
maupun hasilnya.
e.
Membantu guru untuk senantiasa
memperbaiki dan meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, wawasan
umum dan keterampilan khusus yang diperlukan dalam pembelajaran.
f.
Membantu guru untuk dapat menemukan
cara pemecahan masalah yang ditemukan dalam proses pembelajaran, baik di dalam
maupun di luar kelas.
g.
Membantu guru untuk dapat menemukan
cara pemecahan masalah yang ditemukan dalam proses pembelajaran, sehingga
bena-benar memberi nilai tambah bagi siswa dan masyarakat.
h.
Membantu guru untuk mengembangkan sikap
positif terhadap profesi dalam mengembangkan diri secara berkelanjutan, baik
secara individual maupun kelompok,
dengan cara yang dikembangkan atau atas inisiatif sendiri.
D. Prinsip dan Model Supervisi Klinis
1.
Prinsip Supervisi Klinis
a.
Hubungan supervisor dengan guru disadari sangat kolegalitas yang taat asas.
b.
Setiap
kelemahan dan kesalahan guru semata-mata digunakan untuk tindakan
perbaikan, tanpa secara eksplisit melabeli guru belum profesional
c.
Menumbuh kembangkan posisi guru,
mulai dari tidak profesional sampai
profesional sungguhan
d.
Hubungan antara supervisor dengan guru
dilakukan secara objektif, transparan, dan akuntabel
e.
Diskusi dan pengkajian atas umpan balik
yang segera atau yang diketahui kemudian bersifat demokratis dan didasarkan
pada data hasil pengamatan.
f.
Hubungan antara supervisor dengan guru
bersifat interaktif, terbuka, objektif, dan tidak bersifat menyalahkan
g.
Pelaksanaan keputusan atau tindakan
perbaikan ditetapkan atas kesepakatan atau kerelaan bersama.
2.
Model Supervisi Klinis
a. Model Pengembangan
Konsep
dasar pada model ini adalah keyakinan bahwa individu tumbuh secara kontinyu
ketika tindakannya telah benar, menjalankan secara baik, dan menjalani
pertumbuhan secara berpola. Menurut Stoltenberg dan Delworth (1987) ada tiga
level subyek yang disupervisi:
1) Tingkat Dasar
Seorang
supervisor menemukan guru yang relative tergantung pada supervisornya, kemudian
dia melakukan diagnosis untuk kemudian diberikan terapi.
2) Tingkat Menengah
Sering
munculnya tipikal yang resistensi, penghindaran, dan konflik, karena konseo
diri yang disupervisi sangat mudah terganggu.
3) Tingkat Lanjut
Fungsi
yang dijalakan oleh subjek yang disupervisi bersifat
relatin independen, mereka berkonsultasi pada saar memelukan dan merasa
bertanggungjawab atas keputusan yang benar atau salah.
b. Model terpadu
Model
ini menekankan pada tiga area fokus pengembangan keterampilan, yaitu proses,
konseptualisasi, dan personalisasi. Sesekali supervisor bisa tampil langsung
selayaknya guru yang memberi mata kuliah, pengajaran atau informasi kepada
kliennya. Sesekali dia bertindak sebagai konselor ketika harus melakukan
tindakan konseling atau kepenasehatan khusus atas jalin hubungan selayaknya
sejawat, ko-terapis, atau memerankan diri sebagai konsultan.
c. Model orientasi spesifik
Model ini
mengadopsi beberapa model terapi, seperti yang pernah dikembangkan oleh
Adlerian dengan pendekatan solusi terfokus atau pendekatan perilaku. Diyakini bahwa
proses supervise yang terbaik didapatkan dari terapi yang baik pula. Menurut
Danim dan Khairil (2010: 185) model ini diaplikasikan melalui beberapa tahap :
1)
Tahap
awal dimana ketika seorang supervisor bertatap muka dengan yang akan
disupervisi. Mereka harus menunjukkan keahlian dan kelemahannya. Artinya,
keduanya ini dapat saling mempengaruhi.
2)
Pada
tahap ini mungkin diantara mereka akan muncul konflik, sikap bertahan, dan
menghindar, atau bahkan menyerang. Pada tahap ini supervisor menunjukkan
perannya sebagai “pengendali” dalam kerangka supervise.
3)
Pada
tahap akhir supervisor lebih banyak diam dan mendorong subjek yang disupervisi
untuk tumbuh mandiri dengan caranya sendiri.
Akhmad
Sudrajat (2008) mengemukakan bahwa supervisi klinis dilakukan melalui tiga
tahapan yaitu tahap pertemuan pendahuluan, tahap observasi kelas, dan tahap
pertemuan balikan. Hal yang paling membedakan supervisi klinis adalah
penekanannya pada interaksi langsung guru-supervisor dan pengembangan
professional guru.
Tahap
pertemuan pendahuluan dimaksudkan sebagai langkah inventarisir masalah yang
dihadapi guru; tahap observasi kelas dimaksudkan sebagai tahap untuk melihat
secara real pembelajaran yang terjadi di dalam kelas; sedangkan tahap pertemuan
balikan merupakan tindak lanjut dari kegiatan yang kedua tadi.
a.
Tahap
pertemuan pendahuluan (tahap pertama); Pada tahap ini yang terpenting untuk
diperhatikan, terutama oleh supervisor, adalah harus dapat menciptakan suasana
yang akrab, terbuka dan penuh persahabatan. Jadi yang terjalin adalah hubungan
kolegial dalam suasana kerjasama yang harmonis. Dalam tahap ini supervisor dan
guru bersama-sama membicarakan rencana keterampilan yang akan diobservasi dan
dicatat. Menurut Soetjipto dan Raflis Kosasi dalam Jayadi (2002:77), secara
teknis diperlukan lima langkah dalam pelaksanaan pertemuan pendahuluan yang
meliputi
a)
Menciptakan
suasana yang akrab antara supervisor dengan guru.
b)
Melakukan
kajian ulang rencana pembelajaran (tujuan, bahan, kegiatan, dan evaluasinya)
yang telah dibuat oleh guru.
c)
Mengidentifikasi
komponen keterampilan (beserta indikatornya) yang akan diobservasi.
d)
Memilih
atau mengembangkan instrument observasi yang akan digunakan.
e)
Mendiskusikan
bersama untuk mendapatkan kesepakatan tentang instrument observasi yang dipilih
atau dikembangkan
b.
Tahap
observasi kelas (tahap kedua); pada tahap ini guru mengajar atau melakukan
latihan mengenai tingkah laku mengajar yang telah dipilih dan disepakati
bersama pada tahap pertemuan pendahuluan. Ketika guru praktik/berlatih,
supervisor mengadakan observasi dengan menggunakan alat perekam yang juga telah
disepakati bersama. Aspek-aspek yang diamati adalah segala hal yang telah
disepakati yang tercantum dalam instrument yang juga telah disetujui bersama
dalam pertemuan pendahuluan.
Fungsi
utama observasi kelas adalah untuk menangkap apa yang terjadi selama proses
pengajaran berlangsung secara lengkap agar supervisor dan guru dapat dengan
tepat mengingat kembali proses pengajaran dengan tujuan agar analisis dapat
dibuat secara objektif. Ide pokok dalam observasi ini adalah mencakup apa yang
terjadi sehingga dengan catatan yang dibuat dengan cermat dan lengkap serta
kemudian tersimpan dengan baik, dapat bermanfaat untuk kepentingan analisis dan
komentar (Jayadi, 2002:77).
c.
Tahap
pertemuan balikan (tahap ketiga); Tahap ini merupakan diskusi umpan balik
antara supervisor dan guru berkaitan dengan kegaiatan yang baru saja
diselesaikan yaitu, guru baru saja selesai melakukan latihan suatu
keterampilan, dan supervisor baru saja selesai mengamati guru melakukan
latihan. Yang menjadi acuan dalam pertemuan balikan ini adalah kesepakatan yang
dibuat dalam pertemuan pendahuluan, dan pada akhir diskusi balikan ini guru
diharapkan dapat mengetahui dan menyadari seberapa jauh tujuan yang telah
disetujui bersama dapat tercapai (Jayadi, 2002:78-79).
Soetjipto dan Raflis Kosasi dalam
Jayadi (2002:79-80) mengemukakan langkah-langkah pembicaraan hasil supervisi
klinis sebagai berikut :
a. Memberi penguatan dan menanyakan
perasaan guru mengenai apa yang dialaminya dalam kegiatan mengajar secara umum.
Hal ini untuk menciptakan suasana santai agar guru tidak merasa diadili.
b. Mereview tujuan pelajaran.
c. Mereview target keterampilan serta
perhatian utama guru dalam mengajar/latihan mengajar.
d. Menanyakan perasaan guru tentang jalannya
pengajaran berdasarkan target dan perhatian utamanya.
e. Menunjukkan data hasil rekaman dan
memberi kesempatan kepada guru menafsirkan data tersebut..
f.
Menganalisis
dan menginterpretasikan data hasil rekaman secara bersama-sama.
g. Menanyakan kembali perasaan guru
setelah mendiskusikan hasil analisis dan interpretasi rekaman data tersebut.
h. Menyimpulkan hasil dengan melihat atau
membandingkan antara apa yang sebenarnya merupakan keinginan atau target guru
dengan apa yang sebenarnya telah terjadi atau tercapai.
i.
Menentukan
bersama-sama dan mendorong guru untuk merencanakan hal-hal yang perlu dilatih
atau diperhatikan pada kesempatan berikutnya.
E. Teknik dan Komunikasi dalam Supervisi
Klinis
1.
Teknik Supervisi Klinis
Dalam melaksanakan tugas-tugas profesionalnya, supervisor
pembelajaran berkomunikasi dengan guru yang disupervisi. Ahli komunikasi
umumnya sependapat bahwa komunikasi dapat diartikan sebagai proses penyampaian
informasi dari pengirim kepada penerima pesan, dimana pesan itu disampaikan
melalui media atau tanda-tanda dengan menggunakan bahasa tertentu yang saling
dimengerti untuk mencapai suatu tujuan. Komunikasi adalah segala penyampaian
segala perasaan, sikap, kebijakan dan kehendak, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Berdasarkan dua definisi diatas, maka dalam proses komunikasi
terlibat berbagai unsur seperti, penyampaian informasi (sender atau informator),
penerima informasi (receiver), isi informasi (message), media
atau tanda-tanda yang digunakan (medium or symbols), dan bahasa yang
saling dimengerti (mutual language system). Unsur lain dari komunikasi
adalah gangguan (noise), dan respon (response). Dalam konteks
komunikasi untuk supervisi klinis, kedudukan supervisor dan ayan g disupervisi sebagai pengirim dan
penerima pesan itu saling berganti. Karena memang dalam supervisi pembelajaran
klinis, dialog terbuka menjadi sangat penting.
Unsur-unsur tersebut tidak dapat terpisahkan satu sama lain.
Didalam proses komunikasi antara supervisor dengan guru selalu melibatkan
penyampai informasi (supervisor), penerima informasi dan sebaliknya,
pesan yang diinformasikan (pesan-pesan perbaikan, ajakan dan sebagainya) media
atau tanda-tanda yang digunakan, bahasa yang saling dimengerti, kemungkinan
gangguan dan pada saatnya respon adalah keharusan. Jika unsur lain ada, akan
tetapi penerima tidak memberikan respon, maka proses komunikasi antara
supervisor dengan menjadi tidak berarti.
Ada tiga tinjauan untuk memahami konsep dasar komunikasi
antara supervisor dengan guru yang disupervisi. Ketiga tinjauan tersebut
dirumuskan berikut ini:
a. Bahwa komunikasi itu dipandang sebagai
proses penyampaian informasi. Keberhasilan proses komunikasi antara supervisor
dengan guru terletak pada penguasaan materi atau fakta dan pengaturan cara-cara
penyampaiannya. Guru sebagai penerima pesan dan supervisor sebagai pengirim
atau sebaliknya tidak merupakan komponen yang menentukan keberhasilan
komunikasi.
b. Komunikasi itu suatu proses penyampaian
gagasan-gagasan dari supervisor kepada guru. Didalam konsep ini terkandung
makna bahwa guru sebagai penerima pesan dianggap sebagai bagian dari proses
komunikasi, namun penekanan terletak kepada supervisor atau message
formulator. Kelemahan
komunikasi yang bersifat “speaker-centered phylosophy of communication” ini terletak pada beberapa hal.
Pertama, penerima pesan dipandang sebagai objek yang pasif dan bukan sebagai
kekuatan aktif dalam proses komunikai. Kedua, konsep ini tidak mengemukakan
terjadinya proses pemahaman atau meaning yang tidak dapat
dihindari dalam proses komunikasi. Ketiga, terlalu parochial atau
kurang mengungkapkan masalah manusia yang suatu waktu berkomunikasi dengan
dirinya sendiri.
c. Komunikasi dipandang sebagai suatu
proses menciptakan arti, ide, gagasan atau konsep. Pesan supervisor dapat
diciptakan melalui orang, televisi, radio, memo, papan pengumuman, suran dan
sebagainya. Konsep ini tidak sepenuhnya tepat, mengingat bahwa komunikasi itu
bukan proses penyampaian arti atau gagasan dari seseorang kepada orang lain.
Apa yang disampaikan oleh penyampai
pesan itu hanyalah simbol-simbol atau lambang-lambang. Arti dari suatu pesan
tidak dapat dipindah-pindahkan atau disampaikan secara apa adanya. Pengertian
atau pemaknaan atas pesan itu terjadi pada individu yang terlibat dalam proses
komunikasi itu. pengertian atau pemahaamn atas pesan yang disampaikan oleh
supervisor ditentukan oleh kemampuan guru sebagai penerima pesan itu. Dengan
demikian, keberartian atas pesan atau sejumlah pesan itu ditentukan oleh
kemampuan guru sebagai penerima pesan itu sendiri. Tugas supervisor hanyalah
menyampaikan ide atau informasi, beban pemahaman terhadap apa yang disampaikan
ada pada guru yang disupervisi.
Pada tingkat praksis, perbuatan
mencela, mengkritik, memberi saran atau usul kepada atasan yang lebih tinggi
sangat jarang, sebagai hambatan psikologis itu. Dengan fenomena itu, mereka
segan mengemukakan ketaksenangan terhadap pekerjaan atau sikap negatifnya
terhadap tugas-tugas. Mereka bekerja dan berkomunikasi sangat hati-hati, sebab
takut tergeser, tidak dipercaya, dan tidak membangun rasa saling memiliki. Hal
ini terjadi sebagai akibat beberapa hal. Pertama, tidak ada keterbukaan antara
kedua belah pihak, yaitu antara supervisor dengan guru binaanya. Kedua, kurang
dukungan fakta-fakta. Ketiga, pola manajemen kepengawasan yang kaku, tidak
memungkinkan komunikasi terjadi secara efektif.
Supervisor yang bijak akan membawa guru
binaanya pada kondisi yang mereka inginkan, yaitu menciptakan iklim yang sehat
dan produktivitas pembelajaran yang tinggi. Ketidakmampuan supervisor
menimbulkan kepercayaan, kepatuhan, dan kesetiaan melalui komunikasi yang baik
dengan guru akan membawa dampak gagalnya program supervisi. Komunikasi antar
manusia dalam kaitannya dengan pekerjaan menduduki posisi sentral, lebih dari
hanya sekedar berporos pada upaya mencapai tujuan organisasi. Munculnya
permasalahan itu dapat saja disebabkan oleh perbedaan status secara posisional
atau karena tidak ada jaringan komunikasi yang komunikatif.
Berhasil atau tidaknya komunikasi
antara supervisor dan pengawas turut ditentukan oleh keinginan mendengar
antarsesama. Mendengarkan yang dimaksudkan disini adalah kemampuan
menangkap pesan, bukan kepura-puraan. Pembicara yang tidak mau tau guru atau
lawan bicara, tidak akan menjadi supervisor pembelajaran yang baik. Untuk itu,
manusia organisasional harus memiliki sifat-sifat inovatif yang oleh Rogers dan
Shoemaker (1981) digambarkan dengan ciri-ciri sperti berikut ini:
a. Memiliki empati yang lebih besar.
Empati adalah kemampuan seseorang memproyeksikan diri kedalam peranan orang
lain. Hal ini biasanya harus ditunjang oleh kemampuan berpikir abstrak, berdaya
khayal dan mengambil peran orang lain agar dapat berkomunikasi lebih efektif
dengan mereka.
b. Kurang dogmatis. Dogmatis adalah suatu
variabel yang menunjukkan sistem kepercayaan yang relatif tertutup yang
pengaruhnya sangat kuat terhadap kepribadian seseorang.
c. Mempunyai kemampuan abstraksi yang lebih
besar, karena ide baru itu biasanya pertama kali diperkenalkan dalam bentuk
rangsangan yang abstrak.
d. Mempunyai rasionalitas yang besar,
karena itu merupakan cara yang paling efektif untuk menciptakan tujuan
tertentu.
e. Cenderung lebih tinggi intelegensinya.
f.
Memiliki sikap yang lebih berkenan terhadap perubahan.
g. Memiliki sikap yang mau mengambil
resiko.
h. Memiliki sikap yang berkenan terhadap pendidikan
dan ilmu pengetahuan. Kesembilan, kurang percaya kepada nasib, artinya tidak
menyerah begitu saja kepada nasib, statisme. Kesepuluh, memiliki motivasi
tinggi meningkatkan taraf hidup yang lebih baik. Kesebelas, memiliki aspirasi
tinggi terhadap pendidikan, pekerjaan dan sebagainya lebih tinggi
2.
Komunikasi Supervisi Klinis
Ada dua sikap supervisor pembelajaran yang mempengaruhi
proses berkomunikasi, yaitu sikap yang menghambat dan sikap yang membantu. Dua
sikap pengirim pesan yang menghambat dan membantu proses komunikasi menurut
Jack R. Gibb (1970) dalam “Journal of Communication” seperti berikut ini:
a. Evaluasi –
Deskripsi
Supervisor
yang cenderung memberi penilaian terhadap guru binaannya akan menghadapi reaksi
yang difensif dari penerima pesan itu. Sebaliknya supervisor yang memberi
penjelasan secara deskriptif akan memperoleh respon positif dari guru
binaannya. Karena itu, penyampaian pesan-pesan yang bersifat deskriptif akan
lebih efektif dibandingkan dengan yang bersifat evaluasi.
b.
Penguasaan – Permasalahan
Supervisor
yang bersikap sebagai penguasa atau pimpinan yang otoriter, akan membuat guru
binaanya menjadi imferior dan defensif. Supervisor yang berbicara bersifat
ingin memecahkan pelbagai masalah akan disambut secara positif dan konstruktif
oleh guru yang disupervisi. Manusia sesuai dengan hakekatnya, biasanya tidak
suka terpojok atau tidak mau berperan selalu sebagai bawahan. Mereka lebih
menerima atasan yang senantiasa memecahkan pelbagai problema yang mereka
hadapi.
c.
Manipulasi – Spontanitas
Supervisor
selaku penyampai pesan yang bernada manipulatif atau bersikap “ ada udang
dibalik batu” akan disambut dengan sikap negatif oleh guru dan tidak mungkin
menciptakan suasana komunikatif antarsesama mereka. Jika komunikasi dilakukan
oleh supervisor secara jujur, spontanitas dan sungguh-sungguh, akan disambut
dengan sikap positif oleh guru. Proses komunikasi antara supervisor dengan guru
binaannya akan berlangsung secara komunikatif.
d.
Tidak memperhatikan – Memperhatikan
Sikap
dingin seseorang supervisor atau penyampai informasi akan ditanggapi oleh guru
sebagai penerima informasi secara tidak penuh dan dengan demikian komunikasi
tidak akan berjalan secara efektif. Jika supervisor atau penyampai informasi
penuh keseriusan, akan ditanggapi oleh guru sebagai penerima informasi secara
penuh perhatian. Dengan demikian informasi yang disampaikan oleh supervisor
kepada guru binaannya akan dapat diterima dengan baik.
e.
Bersikap super – Menyamakan diri
Penyampai
pesan atau supervisor yang berlagak angkuh atau supervisor tidak akan dapat
menyampaikan informasi secara baik kepada guru sebagai penerima pesan, karena
mereka akan mempunyai kesan bahwa supervisor itu hanya menampakkan egonya.
Supervisor yang menghargai guru atau memposisikannya sama dengan dirinya, akan
mampu menyampaikan informasi secara efektif.
f.
Kaku – Luwes
Supervisor
yang hanya berusaha menawarkan keputusan-keputusan sendiri dengan dalih mau
dilihat bersikap demokratis akan membuat guru atau penerima informasi jadi
negatif. Jika supervisor bersikap luwes, akan diterima secara luwes pula oleh
guru. Dengan demikian komunikasi antarsesama mereka akan berjalan lebih lancar.
Ketidakmampuan supervisor pembelajaran
akan menyebabakan dia maupun guru tidak memperoleh kepuasan akibat tidak adanya
perasaan saling mempercayai satu sama lain. Faktor-faktor yang mempengaruhi
komunikasi antara supervisor pembelajaran dan guru adalah
a.
Faktor
psikologis, yaitu persepsi dan penafsiran guru yang dibina terhadap stimulus
yang ada dari supervisor ditentukan oleh tingkatan emosi dan sifat pibadi
seseorang supervisornya
b.
Faktor
biofisikal, yaitu penglihatan, keseimbangan biokimiawi, dan lain-lain yang ada
pada diri guru binaan supervisor
c.
Faktor
psikofisikal, yaitu status fisik dan mental yang saling berkaitan, seperti
penyalahgunaan obat dan kemampuan dalam mengekspresikan diri dan perubahan
tingkat kewaspadaan seorang guru yang dibina.
d.
Faktor
sosiokultural, yaitu hal-hal yang bersifat kultural, ras, klas sosial,
nilai-nilai yang dianut serta kepercayaan yang dianut oleh guru binaan
supervisor.
Komunikasi yang efektif terutama
terletak pada kemampuan supervisor pembelajaran untuk “membaca” (mendengar,
mengerti, dan memahami) guru secara individual, mampu menilai kondisi guru, dan
mampu menyampaikan pesan kepadanya sesuai dengan lokasi, waktu dan maksud dari
interaksi yang sedang berlangsung. Kemampuan melakukan komunikasi secara
efektif bukan semata-mata merupakan ciri khas atau pembawaan seseorang
supervisor pembelajaran, sebagian besar dari kemempuan tersebut merupakan perilaku
yang dapat dipelajari
Ketrampilan komunikasi dapat dipelajari
dengan lebih efisien bila seseorang telah mengetahui pengetahuan dasar
komunikasi yang berkaitan sebelum melakukan praktik ketrampilan. Saat ini,
seharusnya supervisor pembelajaran telah menyadari bahwa ketrampilan komunikasi
pribadi merupakan unsur dasar dalam memeperbaikai kualitas wawancara klinis
dalam supervisi pembelajaran. Kualitas komunikasi klinis ini diyakini
berhubungan secara positif dengan efektiviitas menumbuhkembangkan kemampuan
profesional guru.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa
komunikasi yang efektif akan membawa supervisor pembelajaran pada pembuatan
diagnosa yang lebih tepat, investigasi dan terapi yang tepat dan meningkatkan
derajat kepuasan serta pemenuhan kebutuhan dari guru. Dengan demikian
komunikasi yang efektif diharapkan akan dapat mengurangi penyimpangan dalam
komunikasi serta memberi keputusan bagi guru sebagai penerima jasa layanan
supervisi pembelajaran. Komunikasi ini dapat dilakukan baik secara verbal maupun
nonverbal.
a.
Komunikasi Verbal
Komunikais verbal adalah penggunaan kata-kata dalam
menyampaikan pikiran, perasaan, dan informasi. Kesalahan utama dalam
penyampaian kata-kata adalah digunakannya istilah pendidikan dan pembelajaran
yang hanya diketahui oleh supervisor dan tidak dimengerti sama sekali oleh guru
binaannya. Penggunaan istilah oleh supervisor hanya boleh jika dia yakin bahwa
guru benar-benar memahaminya.
Faktor lain yang mempengaruhi tingkat pemahaman guru adalah
volume informasi yang disampaikan oleh supervisornya. Supervisor harus memberi
kesempatan pada guru untuk mengingat pesan-pesan yang
telah disampaikan.pada umumnya guru hanya dapat mengingat beberapa
hal utama pada setiap kali pertemuan. Adalah hal yang sangat menguntungkan bila
supervisor dapat menyediakan informasi tertulis mengenai cara menegakkan “diagnose” dan rekomendasi perbaikan bagi
guru yang dibina.
b.
Komunikasi Nonverbal
Komunikasi nonverbal adalah isyarat yang berlangsung
secara sadar atau tidak sadar berupa tingkah laku yang menyatakan pikiran,
perasaan, atau petunjuk. Komunikasi nonverbal dapat berguna dalam:
1)
Menunjukkan
emosi.
2)
Menunjukkan
sikap.
3)
Membentuk
dan mempertahankan hubungan sosial.
4)
Mendukung
komunikasi verbal.
Komunikasi verbal dan nonverbal dapat membantu supervisor
pembelajaran untuk menunjukkan perhatian dan kepedulain terhadap guru. Dengan
menunjukkan perhatian, melakukan kontak mata, mendengarkan dan bertanya secara
baik dan menunjukkan pengertian dan empati akan membuat guru merasa
diperhatikan dan dianggap penting. Sikap nonverbal yang menunjukkan adanya
perhatian dan kepedulian terhadap guru antara lain adalah nada bicara, sikap,
perhatian, senyuman, mendengarkan dengan seksama, posisi duduk antara
supervisor pembelajran dan guru pada ketinggian yang sama.
F. Konsultasi Supervisi Klinis
1.
Keputusan Berbasis Konsultasi
a. Hak guru untuk memperoleh informasi
yang penting dari supervisor dan bernilai baik baginya.
b. Hak guru dalam membuat keputusan yang
terbaik menurut pertimbangan nalar dan pengalamannya.
c. Keputusan berbasis informasi (informed
decision) merupakan pernyataan mendasar dari hak guru untuk mewujudkan
eksistensi diri
d. Lima unsur dasar penting untuk
mendukung pengambilan keputusan berbasis konsultasi:
1) Terjadinya pilihan layanan supervise.
2) Proses pengambilan keputusan secara
sukarela.
3) Guru memperoleh informasi yang benar.
4) Terjaminnya interaksi yang baik antara
supervisor pembelajaran dengan guru.
5) Dukungan dalam membuat keputusan supervises.
2.
Pendekatan GATHER
Pendekatan GATHER sudah lama digunakan dalam
konsultasi pelayanan keluarga berencana (KB) untuk membentuk klien memilih
metode kontrasepsi yang paling baik dan sesuai. Pendekatan ini agaknya cocok
dalam rangka pelaksanaan supervisi pembelajaran. GATHER merupakan singkatan
dari:
a. Greet (salam) – berikan salam dalam
sikap bersahabat pada guru segera ketika berjumpa. Buatlah guru merasa nyaman
dengan menanyakan hal-hal yang sederhana.
b.
Ask
(tanya) – apa dan bagaimana seorang supervisor klinis dapat membantu guru.
Bertanyalah mengenai masalah guru, gunakan nada suara yang mengisyaratkan
keperdulian, perhatian, dan keakraban terhadap mereka.
c.
Tell
(tanggapan) – berikan tanggapan dan respon terhadap kebutuhan guru
d.
Help
(bantu) – bantulah guru dalam membuat keputusannya sendiri
e.
Explain
(jelaskan) – apa yang benar-benar perlu dijelaskan
f.
Return
(kembali) – ingatkan guru dengan memberikan pesan-pesan tertentu yang penting.
3.
Pendekatan REDI
Pendekatan ini dikenal dengan 4 tahapan
REDI yaitu:
a. Rapport building (membina hubungan)
1) Menyambut kedatangan guru, misalnya
ketika dia berinisiatif menemui supervisornya.
2) Membuat pembicaraan awal yang
menyenangkan.
3) Memeperkenalkan topik bahasan.
4) Menjanjikan kerahasiaan bersama.
b. Exploration (eksplorasi)
1) Mendapatkan informasi mengenai
kebutuhan guru, resiko kehidupan guru sebagai penyandang profesi ketika
berinteraksi dengan anak, kehidupan sosial, dan lingkungan.
2) Menggali tingkat pemahaman guru dan
berikan informasi yang diperlukan.
3) Bantu guru dalam memahami kondisi kerja
atau resiko kerja yang akan muncul.
c. Decision making (pengambilan keputusan)
1) Identifikasi keputusan yang diperlukan
guru.
2)
Identifikasi
pilihan-pilihan guru dalam mengambil keputusan.
3)
Berikan
penjabaran dari keuntungan, kerugian, dan konsekuensi dari setiap pilihan.
4)
Bantu
guru untuk mengambil keputusan yang realistik.
d. Implementing of decision (pelaksanaan keputusan)
1) Buatlah rencana nyata dan spesifik
untuk menjalankan keputusan.
2) Idenifikasi ketrampilan yang diperlukan
guru dalam menjalankan keputusannya.
3) Bantulah guru dalam memperoleh
ketrampilan praktis yang diperlukan, jika dirasa perlu.
4) Buatlah rencana tindak-lanjut.
0 Komentar