3 Kebiasaan Orangtua yang Bisa Menyebabkan Anak Menderita Fobia Sosial



Ada orang sukanya menghindari kerumunan, menyendiri dari teman yang saling cakap. Sering ia tampak kaku saat diajak berbicang-bincang. Cenderung menghindarkan mata dari tatapan orang. Ia lebih menyukai kesendirian serta dunianya. Ia membenci sosialisasi. 

Jangan buru buru menuduhnya sombong dan anti-sosial. Bisa jadi ia hanyalah korban dari orangtuanya yang kurang tepat dalam mendidik.  

Hingga ia mengalami kelainan mental akut yang irasional, yang (sebenarnya) sekuat tenaga coba ia lawan. Yang sebenarnya membuat ia selalu merasa terasing, cemas, panik, bahkan gemetar di antara perkumpulan orang. 

Sebuah fobia sosial yang tidak biasa serta berlebihan. Dalam bangku pendidikan, orang biasa menyebut dengan istilah social anxiety disorder.

Ah, lupakan sebuah istilah. Mereka butuh perhatian, rangkulan, dan sapa hangat. Setidaknya, dengan tidak menyudutkan.

Betapa kelainan sosial ini sungguh merugikan. Bayangkan saat seseorang takut bersosialisasi, cemas bertemu orang, menghindar dalam berinteraksi sosial. Tentu saja akibatnya bisa sampai pada mental si korban, prestasi, kehidupan sosial, keinginan menjadi paling sempurna, bahkan depresi yang bisa saja membawanya kepada jurang yang lebih nista lagi, misalnya menggunakan alkohol atau obat obatan terlarang sebagai pelampiasan. 

Bahkan bisa jadi, lebih memilih untuk bunuh diri. Bisa jadi.

Memang, kita tidak dapat menyalahkan orangtuanya yang telah susah payah membesarkan. 

Kita hanya bisa berusaha untuk menghindarkan hal hal buruk berikutnya terjadi, kepada anak anak kita nanti, terutama kita yang saat ini belum menikah dan belum memiliki anak.  


Inilah 3 kebiasaan orangtua yang bisa menyebabkan anak menderita fobia sosial:

1. Menyudutkan
Sebenarnya, tidak ada orangtua yang dengan sengaja melakukan tindakan diskriminatif terhadap anak anaknya. Tentu saja mereka akan selalu memberi support dan perhatian.

Hanya saja, beberapa tindakan bisa saja tergolong menyudutkan yang akibatnya bisa membuat anak tertekan dan tidak memiliki kepercayaan diri. Misalnya, orangtua yang suka membanding-bandingkan, orangtua yang menganggap apa yang dilakukan anaknya selalu salah. Tidak ada dukungan terhadap suatu passion, sementara saat si anak gagal, orangtuanya bukan menguatkan, tetapi justru hadir menyalahkan, dan lain lain. Beberapa tindakan demikian bisa saja menjatuhkan mental sang anak, sehingga bisa berakibat pada kehidupan sosialnya.

2. Kebiasaan membentak
Orangtua adalah kekuatan bagi anak anaknya, tetapi di satu sisi mereka bisa menjadi kelemahan terbesar. Anak pernah melakukan kesalahan, tetapi tidak seharusnya diberi nasihat dengan keras atau semacam membentak. 

Banyak sekali dampak buruk yang terjadi pada anak yang gemar dibentak, atau dikit dikit dibentak, salah satunya adalah kehidupan sosialnya bermasalah. Ia menjadi penakut, bahkan takut kepada sesama manusia. Takut yang berlebih dan tidak wajar. Merasa selalu dihakimi, mentalnya down, dan merasa tak memiliki sedikit harga diri untuk berada di tengah tengah orang. 

3. Memberi perlakuan traumatis
Namanya trauma, tidak mudah sembuh. Seseorang yang terjangkit trauma, bisa menganggap buruk hal baik sekalipun.

Tindakan tindakan yang bisa meninggalkan rasa trauma, seperti orangtua yang gemar bertengkar di hadapan anaknya, membentak, main tangan, dan hal hal traumatis lain yang membekas di hati, bisa menyebabkan anak kaku untuk bersosialisasi. Rasa trauma itu menyebabkan ketakutan sosial yang tidak logis.

Itulah tiga kebiasaan yang bisa menyebabkan anak anak mengalami fobia sosial, bahkan bisa berlangsung hingga anak dewasa (muda). 

Rasa tidak nyaman dalam bersosialisai, cemas saat beradaptasi, sungguh mengganggu keberlangsungan dalam kehidupan sebagai makhluk sosial. Biasanya, penderita fobia sosial menyadari keadaan mental mereka, hanya saja tidak sanggup menghindari. Mari kita rangkul mereka, dan memperbaiki kualitas mendidik sebagai usaha meminimalisir.

Jika ada tambahan, sila share di bawah. Semoga bermanfaat  
 

Posting Komentar

0 Komentar